Banyak ekonom memberikan pandangan bahwa tahun lalu dan tahun 2015 ancaman inflasi tinggi masih akan membayangi perjalanan perekonomian Indonesia. Sensitifnya laju inflasi bisa dipicu dari dua sisi, yakni sisi pasokan atau penawaran dan sisi permintaan.
Jika terjadi ketidakseimbangan, dalam artian sisi pasokan lebih rendah daripada sisi permintaan, maka ancaman inflasi sudah terjadi. Dan kondisi seperti ini sudah sering terjadi berkali-kali di negara ini, namun resep mengantisipasinya selalu gagal karena terlabat bereaksi.
----------------------------------------------------
Simak juga topik populer 2015:
1) Tren Ekspor Produk Makanan dan Minuman Indonesia Makin Positif
2) 2015: Investasi Sektor Makanan Diprediksi Tumbuh 25%
3) 2015: Prediksi Pertumbuhan Industri Minuman Capai 12%
4) Investasi Sektor Makanan Topang Pertumbuhan Industri di 2015
5) Tren Bisnis Makanan dan Minuman 2015
----------------------------------------------------
Namun masih ada satu faktor lagi yang kerap kali mendera inflasi nasional, yakni harga komoditas tertentu yang diatur oleh pemerintah atau dikenal dengan istilah administered price. Misalnya harga kelompok pangan seperti bahan bakar minyak, listrik, gas atau elpiji, besar, gula pasir, daging, cabai dan sejenisnya yang ditetapkan pemerintah dalam rangka stabilisasi harga.
.
Pemerintah Presiden Jokowi-JK baru saja membuat kebijakan penting di sektor energi. Per 1 Januari 2015 lalu, pemerintah menurunkan harga solar dan premium, dua bahan bakar minyak yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Solar turun dari Rp7.500 per liter menjadi Rp7.250 per liter dan premium turun dari Rp8.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter. Harga ini akan dikaji setiap bulan oleh pemerintah.
Setelah menaikkan harga premium dan solar tersebut pada 18 November 2014, pemerintah merasa perlu mengkaji lagi harga BBM menyusul melemahnya harga minyak dunia. Keputusan menurunkan harga solar dan premium itu dibarengi kebijakan pemberian subsidi tetap Rp1.000 per liter untuk solar dan mencabut subsidi bagi premium.
Dengan dicabutnya subsidi untuk premium, maka harga keekonomian premium bergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, pemerintah berdalih tidak melepaskan harga BBM pada mekanisme pasar. Pemerintah tetap mengatur dan menetapkan harga dasar solar dan premium yang terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan margin.
Penghitungan harga dasar, yaitu harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dilakukan pada periode tanggal 25 sampai tanggal 24 bulan sebelumnya. Artinya, harga BBM yang baru per 1 Januari 2015 adalah penghitungan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada periode 25 November 2014 sampai 24 Desember 2014. Begitu seterusnya setiap bulan.
Saat menentukan harga baru BBM per 1 Januari 2015 itu, harga minyak dunia dipatok 60 dolar AS per barrel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 12.300. Masalahnya harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belum tentu akan terus bertahan seperti itu, setidaknya hingga akhir 2015.
Lantaran harga minyak dunia bisa naik atau turun, maka pemerintah memutuskan mengkaji harga BBM setiap bulan dengan pertimbangan kedua faktor itu. Lagi-lagi masalahnya, seandainya harga minyak dunia melonjak dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah, bagaimana sikap pemerintah?
Tentu harga keekonomian premium dan solar akan turut terkatrol. Artinya, pemerintah sangat mungkin akan menaikkan harga premium lantaran sudah tak disubsidi. Begitu pula sebaliknya. Jika harga minyak dunia terus merosot dan dibarengi dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga keekonomian BBM menurun. Harga premium bisa turun juga.
Yang menjadi pertanyaan besar di kalangan masyarakat awam adalah bahwa selama ini mereka tidak terbiasa dengan naik turun harga premium dalam periode singkat. Kondisi ini berbeda dengan pertamax yang memang harganya dilepas ke mekanisme pasar dan kajian harganya dilakukan dua kali dalam sebulan oleh Pertamina.
Tentu naik turun harga premium bakal berdampak, entah kecil atau besar, bagi masyarakat dan pelaku usaha. Konon dampak paling terasa akan terjadi pada konsumen premium karena konsumsinya paling besar. Maka, pemerintah harus proaktif berperan menyosialisasikan potensi naik dan turun harga BBM kepada masyarakat. Naik dan turunnya harga BBM tentu berdampak pada banyak hal, seperti harga barang dan ongkos transportasi, termasuk gejolak sosial yang mungkin timbul.
Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said bahwa masyarakat perlu dibiasakan dengan dinamika harga BBM memang ada benarnya. Tapi untuk mengubah kebiasaan diperlukan waktu untuk penyesuaian.
Yang tak kalah pentingnya adalah antisipasi pemerintah seandainya harga minyak dunia membubung tinggi dan rupiah semakin loyo terhadap dolar AS. Di sini negara harus hadir untuk menstabilkan harga BBM. Yang juga tak kalah penting adalah jaminan pasokan BBM di pasar. Pemerintah diingatkan untuk menyiapkan skenario jika harga minyak dunia kembali naik. Pemerintah juga diimbau tak melimpahkan beban kepada masyarakat.
Di sisi lain, pengusaha menyambut baik kebijakan harga BBM yang berlaku 1 Januari 2015 itu dimana harga premium turun dari Rp8.500 per liter menjadi Rp7.600 per liter. Subsidi untuk premium dicabut. Adapun solar yang tetap disubsidi Rp1.000 per liter, harganya turun dari Rp7.500 menjadi Rp7.250 per liter.
Dengan mengacu pada harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, konsekuensinya harga premium bisa berubah-ubah. Konsumen atau masyarakat berpotensi terkena dampak jika harga minyak dunia melambung sehingga akan memengaruhi harga premium. Harga premium turun karena harga minyak dunia merosot. Namun, dengan penghapusan subsidi, rakyat akan terkena dampaknya saat harga minyak dunia kembali naik.
Beban kenaikan itu tak boleh ditanggung sepenuhnya oleh masyarakat. Maka, sebelum subsidi terhadap premium dihapus, pemerintah sebaiknya menyiapkan program perlindungan sosial, infrastruktur konversi bahan bakar gas (BBG) ke BBM, menggiatkan energi alternatif, dan memperbaiki transportasi massal. Jika kebijakan itu berjalan baik, pencabutan subsidi BBM baru bisa diterapkan.
Pemerintah juga harus punya skenario lain jika harga minyak dunia kembali naik suatu ketika. Skenario itu berupa program komperehensif untuk mengendalikan dampak sosial akibat melambungnya harga minyak yang berpotensi menyebabkan harga premium naik lantaran tidak disubsidi lagi. Maka pemerintah juga harus proaktif dan intensif menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa premium sudah tidak disubsidi lagi per 1 Januari 2015.
Terkait harga baru premium, pemerintah harus terbuka dan transparan mengenai harga pokok penyediaan premium. Berdasarkan rekomendasi Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi beberapa waktu lalu, ada indikasi praktik inefisiensi dalam pengadaan premium oleh Pertamina. Maka, perlu ada transparansi dalam penentuan harga pokok penyediaan premium. Masyarakat atau konsumen tidak boleh menanggung akibat inefisiensi yang timbul di dalam penentuan harga pokok penyediaan premium.
Saat menjelaskan tentang harga bahan bakar minyak, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pemerintah tidak melepas harga BBM jenis premium dan solar pada mekanisme pasar. Harga dasar BBM tetap diatur dan ditetapkan pemerintah. Harga dasar yang dimaksud terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan margin. Harga dasar menggunakan rata-rata harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat itu.
Dengan harga dasar berbasis rerata harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam periode sebulan, maka harga solar dan premium berpotensi berubah-ubah. Di sinilah pemerintah akan mengkaji harga BBM setiap bulan dengan mempertimbangkan rerata harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah.
Kalangan pengusaha nasional mengatakan bahwa penurunan harga BBM berpengaruh besar pada pengurangan biaya produksi dan operasional perusahaan. Mereka juga berharap pemerintah memanfaatkan hasil penghematan dana subsidi BBM di APBN untuk membenahi sektor energi dan infrastruktur logistik darat, laut, dan udara. Pemerintah juga diminta menata kembali energi-energi alternatif dan meningkatkan jalur-jalur perdagangan utama lewat darat dan laut.
Dari gambaran di atas, tentu banyak yang berpikir bahwa potensi kenaikan inflasi akan reda seiring penurunan harga BBM. Tapi tunggu dulu. Tingginya inflasi juga dipicu dari gangguan distribusi barang karena perkiraan musim hujan yang terus berlanjut dan akibat banjir di beberapa lokasi.
Selain menganggu dari sisi distribusi, tingginya frekuensi hujan di awal tahun juga akan menganggu produksi bahan-bahan makanan pokok, seperti cabai rawit dan cabai merah sehingga mengerek harga bahan makanan itu di pasaran.
Jadi sisi pasokan dikhawatirkan terganggu, maka harga barang di pasar akan tetap tinggi juga. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan pada 2014 lalu, selain dipicu oleh harga bensin dan listrik, juga disebabkan oleh tarif angkutan dalam kota dengan persentase 0,63%, cabai merah 0,43%, dan beras 0,38%.
Ketiga tarif tersebut masih akan tinggi pada awal 2015 karena penurunan harga BBM tidak bisa serta merta mempengaruhi harga tarif jasa transportasi dan makanan pokok yang sudah terlanjur naik, akibat kenaikan BBM bersubsidi pada November lalu. Namun, meskipun tinggi, laju inflasi akan lebih rendah jika dibanding inflasi Desember 2014 yang sebesar 2,46% sebagai puncak inflasi tahun 2014 lalu.
Secara umum tren laju inflasi pada 2015 ini diperkirakan menurun menyusul rendahnya harga minyak yang memicu penurunan harga BBM bersubsidi serta pengalihan subsidi untuk pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Rendahnya inflasi tahun ini juga akan didukung langkah Bank Indonesia (BI) dalam mengoordinasi pengendalian inflasi bersama pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah menargetkan inflasi pada 2015 sebesar 4,5% plus-minus 1% (3,5%-5,5%), sementara BI menargetkan pada kisaran 4% plus minus 1%. Sementara itu, BPS mengumumkan inflasi tahun kalender 2014 mencapai 8,36%. Inflasi Desember tercatat 2,46%, melampaui perkiraan BI yang 2,2% dan konsensus ekonom yang 2,3%.
Semua data tersebut tentu bisa dijadikan early warning bagi pemerintah dan BI untuk lebih mampu lagi mengarahklan inflasi ke kisaran rendah agar dapat diikuti oleh turunnya suku bunga acuan atau BI Rate sehingga memberikan stimulus bagi perekonomian untuk melaju lebih cepat dan tinggi lagi.
Sumber: businessnews
26 January 2015
Economy
Inflasi Masih Menjadi Ancaman Perekonomian Indonesia
Banyak ekonom memberikan pandangan bahwa tahun lalu dan tahun 2015 ancaman inflasi tinggi masih akan membayangi perjalanan perekonomian Indonesia. Sensitifnya laju inflasi bisa dipicu dari dua sisi, yakni sisi pasokan atau penawaran dan sisi permintaan.


