
PENTINGNYA DAYA SAING
Dalam mengamati
perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didapat kesan bahwa era globalisasi
telah berhasil untuk menggerakan proses transformasi ekonomi dunia. Yang menjangkau
berbagai bidang ekonomi penting. Disadari bahwa masih terdapat banyak kelemahannya
yang menimbulkan keresahan. Seperti telah digambarkan oleh Joseph E. Stiglitz
dalam bukunya “Globalization and its Discontents”.
Walaupun demikian telah tercipta iklim ekonomi dunia
yang dinamis, transparan, dan canggih. Iklim demikian telah dapat dimanfaatkan
oleh negara-negara berkembang. Terutama dari Asia. Kini posisi negara-negara
berkembang di ekonomi global semakin mendekati taraf negara-negara yang sudah
maju.
Sementara itu telah terwujud pula iklim ekonomi global
yang serba kompetitif. Yang nampaknya belum pernah dihadapi dunia sebelumnya
sedahsyat sekarang ini. Masalah persaingan telah menjadi perhatian khusus
dari pihak WEF (World Economic Forum). Yang tercermin dengan jelas, antara
lainnya dalam laporannya terakhir yang sangat mendetail. Berjudul “The Global
Competitiveness Report, 2011-2012“.
Ada salah satu penilaian WEF yang menarik, yaitu
observasinya yang berbunyi: “competiveness has emerged as a new paradigm in
economic development”. Observasi tersebut tentunya telah membangkitkan
kuriositas para pengamat untuk mengetahui lebih lanjut tentang arti dan
implikasi paradigma ekonomi baru itu.
Sebetulnya masalah persaingan bukanlah hal yang baru. Telah
terjadi selama berabad-abad lamanya. Tetapi dengan adanya transformasi ekonomi
dunia yang cukup menggemparkan dan berkembangnya masalah persaingan yang
semakin ketat tentunya terbentuk iklim ekonomi dunia yang berlainan. Selain
daripada soal persaingan, hal yang dianggap lebih penting lagi bagi
negara-negara berkembang ialah masalah daya saing. Justru daya saing ekonomi
yang cukup kuat yang diperlukan oleh negara-negara berkembang.
Dengan demikian masalah daya saing merupakan topik yang
semakin vital dalam soal-soal pembangunan sehingga timbul pernyataan WEF
tentang paradigma baru.
INDEKS SAINGAN GLOBAL
Dengan semakin meningkatnya unsur saingan (competitiveness)
World Economic Forum telah menerbitkan surveynya yang memuat Global Competitive
Index (CGI) yang mencakup 144 negara. Termasuk Indonesia.
Dalam persepsi WEF ke-12 pilar yang menentukan indeks
setiap negara. Tidak hanya bergantung pada satu faktor saja. Misalnya hanya
didukung oleh satu pilar saja, misalnya pilar makro-ekonomi. Masih terdapat
berbagai faktor lainnya yang turut menentukan tinggi-rendahnya indeks
persaingan. Seperti masalah kesiapan teknologi; kemampuan inovasi; pilar infrastruktur;
efisiensi bidang pemasaran dan bisnis; pilar pendidikan dsb.
Menurut tabel terdapat 10 negara yang dianggap telah
mencapai indeks yang tertinggi diantara 144 negara. Dari Eropa tercatat 6
negara yang termasuk daftar tersebut, yaitu Swiss, Finlandia, Swedia, Belanda,
Jerman, dan Inggris. Dari Asia terdapat tiga negara yaitu Singapura dengan
indeks ke-2, Hong Kong dan Jepang. di Amerika Utara terdaftar 1 negara yaitu
Amerika Serikat. Tidak ada yang berasal dari Amerika Latin atau Afrika.

Dikalangan ASEAN, Singapura, Malaysia dan Thailand yang
telah maju. Indonesia dengan indeks 46 untuk tahun 2011-12 masih termasuk
kelompok 50 negara yang ketinggalan. Lemahnya daya saing Indonesia
pada umumnya tercermin dalam berbagai bidang ekonomi. Tetapi juga dibidang
non-ekonomi seperti terjadi sekarang ini dalam bidang olah raga, pendidikan,
kesehatan dsb.
PARADIGMA EKONOMI
Masalah “competitiveness” dinilai oleh WEF sebagai paradigma
baru dalam masalah pembangunan. Apakah ini berarti bahwa kekuatan bersaing
atau daya saing merupakan unsur penting dalam usaha pembangunan. Setaraf
dengan investasi, ekspor dan daya konsumsi. Apakah dengan demikian daya saing
dapat dijadikan engine of growth bagi negara-negara berkembang? Tentunya akan
timbul berbagai pendapat tentang masalah-masalah itu.
Ada kemungkinan persepsi WEF memang benar. Bahwa soal
daya saing merupakan paradigma baru dalam ekonomi pembangunan. Dalam kasus
Indonesia misalnya, tidak cukup untuk selalu sudah merasa puas dengan
tercapainya “economic growth” yang tinggi. Tanpa menghiraukan terdapatnya
daya saing yang tetap rendah dalam berbagai bidang ekonomi.
Jika dinilai secara jujur, perhatian Indonesia sampai
sekarang belum sepenuhnya tertuju pada perlunya Peningkatan Daya Saing.
Kecenderungnya terbatas pada usaha mendeteksi masalah-masalahnya secara umum.
Tanpa menentukan dengan jelas solusinya yang terbaik. Serta tanpa mengambil
tindakan-tindakan efektif dan tuntas yang diperlukan.
Dibawah ini adalah beberapa pointers secara sepintas, yang merupakan pandangan sementara. Karena sama sekali belum
didukung dengan usaha untuk mempelajari masalah-masalahnya yang cukup rumit.
Beberapa pointers untuk diperhatikan:
• Dengan adanya kesadaran dari pihak pemerintahan, Kadin
dan para akademisi tentang lemahnya daya saing Indonesia, merupakan
perkembangan yang positif;
• Tentunya sekarang diharapkan dapat diikuti dengan usaha
penyusunan strategi dan road-map-nya. Yang lebih komprehensif dan efektif dan
yang akan pasti dilaksanakan;
• Peningkatan Daya Saing Indonesia sudah sangat
diperlukan dengan banyaknya FTA (Free Trade Agreements) yang akan atau sedang
dilaksanakan yang akan membawakan arus impor yang deras; ditambah lagi dengan
berlakunya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015);
• Dalam adanya persaingan yang berat sebaiknya tidak
diadakan tindakan-tindakan yang bersifat proteksionis yang berlebihan. Karena
akan mengakibatkan tindakan balasan; dan dapat menimbulkan perang dagang yang
tidak konstruktif;
• Peluang untuk meningkatkan daya saing masih cukup luas;
dibidang trade in merchandise Indonesia dewasa ini masih lemah tetapi pasti
akan tumbuh proses revitalisasi; mungkin dalam bidang trade in services potensi
Indonesia lebih kuat; bidang ini sangat luas dan potensial tanpa memerlukan
modal yang besar dan bersifat labor intensive;
• Sudah waktunya untuk mendorong berkembangnya industri
kreatif yang sedang dipelopori oleh pemerintah. Dari 14 macam industri mungkin
baru 3 atau 4 yang sudah maju, termasuk bidang desain, industri makanan (food
industry), industri kerajinan (dan mungkin bidang perfilman);
• Dalam bidang pariwisata posisi Indonesia cukup kuat.
Peluangnya juga masih besar untuk mencapai taraf yang optimal. Melalui bidang
ini Indonesia dapat memperlihatkan dengan nyata bahwa daya saing Indonesia
dapat diandalkan. Tentunya akan dipelajari bidang-bidang apa yang dapat meningkatkan daya saing
Indonesia;
• Ada baiknya untuk diadakan kerjasama dengan WEF (World
Economic Forum), dan dengan negara-negara yang sudah maju: Singapura, Swiss,
Belanda, Finlandia, dsb. untuk merancang strategi dan road-map Indonesia
termasuk sistem pelaksanaanya;
• Tugas pelaksanaan Peningkatan Daya Saing akan memerlukan:
peningkatan modal dibidang-bidang yang memerlukan; sangat perlunya pertumbuhan
para ahli diberbagai bidang; tersedianya banyak fasilitas pendidikan yang
berfokus pada peningkatan daya saing; hubungan kerja-sama teknik dengan
berbagai negara, WEF, ADB (Asian Development Bank) dan Bank Dunia.
Sudah sangat jelas bidang-bidang apa yang merupakan kelemahan daya
saing Indonesia. Dalam bidang tersebut juga sudah diketahui segi-segi apa
yang paling buruk. Dan apa yang merupakan penghalangnya.
Jadi apalagi yang diperlukan selain dari adanya action yang
efektif yang didasarkan pada kemauan politik (political will) yang
teguh. Menurut para pejuang kemerdekaan, daya juang Indonesia sudah sangat melemah.
Jangan sampai daya saing pun akan melemah juga.
Kesimpulan:
Sudah waktunya masalah peningkatan daya saing mendapatkan perhatian yang sebesar-besarnya dari para stake-holders yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
Sudah waktunya masalah peningkatan daya saing mendapatkan perhatian yang sebesar-besarnya dari para stake-holders yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
Agar dengan meningkatkan daya saing, Indonesia dapat mencapai “sustained
economic growth” dan mempertahankan posisi Indonesia yang sudah cukup solid
dalam perkembangan dan kerjasama ekonomi global. (*)
Penulis : Atmono Suryo
Penulis : Atmono Suryo