12 September 2015

,

Cinta Negeri itu...?

Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.45 malam namun antrian orang untuk membeli burger masih lebih dari 20 orang. Itulah pemandangan di outlet Blenger Burger BSD Serpong beberapa waktu lalu. Blenger Burger merupakan sebuah brand restoran lokal dengan menu utama burger. Restoran dengan menu utama burger ini membidik segmen pasar anak-anak, remaja dan dewasa.

Skala usahanya masih UKM dan baru mengoperasikan empat outlet yang berlokasi di Kebayoran Baru, Bintaro, Serpong dan Pondok Labu. Namun dari sisi kualitas produk, Blenger Burger sudah mampu bersaing dengan produk sejenis dari brand internasional, khususnya dari segi ukuran dan harga. Belum dalam hal pelayanannya.

Salah seorang konsumennya mengaku rela antre sekitar 20 menit untuk mendapatkan panganan idamannya. “Saya dan keluarga suka panganannya, tapi mestinya manajemen bisa memperbaiki lagi kualitas pelayanannya. Setidaknya, konsumen tidak perlu mengantri selama ini,” ujar Catherine, salah satu pelanggan Blenger Burger. Untuk di segmen restoran steak, UKM Indonesia punya beberapa brand yang sudah unjuk kebolehan di segmennya masing-masing.

Waroeng Steak and Shake misalnya, sudah memiliki konsumen loyal dengan segmen utama anak-anak muda. Dengan segmen konsumen tersebut, maka salah satu kekuatan Waroeng Steak and Shake adalah harga produknya yang relative murah. Kini, jumlah outletnya sudah mencapai lebih 50 outlet di sejumlah kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Malang, Makassar, Bali, Lampung, Medan, Palembang, dan Pekanbaru. Makan di restoran ini, konsumen perlu menyiapkan dana sekitar Rp 25.000 – Rp 30.000 per orang.

Restoran lokal lainnya yang membidik pasar steak misalnya Holycow Steak. Jumlah outletnya saat ini mencapai delapan unit yang berada di Jakarta, Serpong, Bintaro, Bandung, Semarang dan Surabaya. Membidik segmen pasar menengah, Holycow Steak mampu menyajikan panganan Steak dengan harga lebih mahal.

Makan di restoran ini konsumen perlu menyiapkan sekitar Rp 150.000 per orang. “Untuk Steak, saya dan keluarga suka di ABUBA dan Holycow Steak karena rasanya cocok dengan selera kami,” ungkap Maria, seorang konsumen yang mengaku rata-rata sebulan sekali dia dan keluarga makan Steak di restoran.

Sesunguhnya produk kuliner nusantara memiliki banyak sekali keunggulan dan keaneragaman yang jarang dimiliki oleh negara lain. Sebut saja dari Aceh sampai Papua, kita memiliki varian kuliner yang beragan dan lezat. Dan sudah terbukti, banyak sekali restoran kuliner nusantara yang sukses menjelma menjadi restoran berkelas. Semoga kita bisa meniru Thailand yang sudah lebih dulu sukses mengoperasikan Thai Resto hingga lebih 10.000 restoran di kota-kota besar di berbagai negara.

Pebisnis Tangguh
Seorang pengusaha UKM yang memproduksi tas menuturkan produknya sudah menembus pasar di sejumlah kota dengan penjualan mencapai ribuan tas dalam sebulan. Dari pabriknya di Karawang, dia melayani pesanan konsumen dan reseller ke daerah-daerah lain dengan harga yang cukup kompetitif berkisar Rp 150.000 – Rp 250.000 per tas. “Pasar kita ini sangat besar, tapi di lapangan kita bersaing dengan produk-produk impor khususnya dari RRC yang harganya dumping. Tapi kita harus terus maju,” ungkap Budi, pemilik merek tas Georn.

Industri garmen saat ini tengah menghadapi tantangan berat karena menurunnya pasar dan naiknya biaya-biaya. Produk garmen lokal saat ini tinggal menguasai 40% sedangkan garmen impor terutama dari RRC sudah menguasi sekitar 60% pasar. Melihat ketatnya persaingan ini, maka perlu sekali pembelaan dari konsumen untuk lebih memilih menggunakan produk lokal ketimbang impor.

Firman Syarifuddin, UKM yang memproduksi dan menjual pakaian, sepatu dan perlengkapan out door mengakui dari awal tahun hingga saat ini kondisi penjualan sedang menurun seiring kondisi ekonomi yang juga sedang menurun. “Dalam kondisi seperti sekarang, dari bisnis bisnis saya memang sedang dalam tantangan berat. Konsumen tetap beli tapi jumlahnya berkurang karena kondisi ekonomi lesu.

Harapannya ekonomi segera bergerak lebih baik lagi sehingga pendapatan masyarakat meningkat lagi,” harap Syarifuddin yang kini memiliki tiga toko perlengkapan out door dan alat pemancingan di Kota Samarinda.

Pasar Indonesia
Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai lebih 250.000 jiwa dan jumlah kelas menengah yang lebih dari 55 juta jiwa merupakan pasar yang sangat besar. Tapi yang lebih fantastis dari konsumen Indonesia adalah kesukaannya untuk berbelanja.

Satu lembaga survey internasional menyatakan bahwa konsumen Indonesia adalah konsumen nomor dua paling konsumtif di dunia. Dengan pembelanjaan konsumen yang besar, tidak mengherankan bila negara-negara lain melalui perusahaan-perusahaannya berusaha masuk menggarap pasar Indonesia.

Produk-produk telepon genggam misalnya, sudah menjadi salah satu penguras devisa nomor terbesar dibawah devisa untuk impor minyak. Di bidang pangan, kita sudah hampir pada posisi ketergantungan pangan impor seperti yang terjadi pada produk-produk kedele, beras, gandum atau terigu, gula, garam, daging sapi serta buah. Kalau kita berkunjung ke super market misalnya, lebih dari 60% buah yang dijual merupakan buah impor.

Sudah semestinya kita memilih buah lokal untuk dikonsumsi yang kualitasnya juga semakin bagus seperti mangga, jeruk, pisang, semangka, apel, durian, melon, dan seterusnya. Dengan membeli produk-produk buah dan sayuran yang dihasilkan petani dalam negeri maka kita juga turut menyejahterakan para petani kita sendiri.

Kalau membeli buah dan sayur maka yang menikmati kemakmurannya adalah petani di luar negeri. Nilai impor pangan semakinmeningkat, kalau tahun 2003 baru senilai US$3,34 miliar,  pada 2013 melonjak menjadi US$14,9miliar atau hampir  Rp 200 triliun.

Nilai tersebut akan terus meningkat bila konsumen Indonesia tidak kembali back to basicmengonsumsi bahan-bahan makanan yang diproduksi petani di tanah air.  Kiranya semangat kemerdekaan kita saat ini salah satunya adalah bagaimana produk-produk Indonesia dapat berdaulat di negerinya sendiri.

(edsas)