Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menilai potensi penyerapan tenaga kerja semakin nyata dan sejalan dengan kebijakan Pemerintah. Bahkan perjuangan standardisasi sudah berlangsung 15 tahun, tanpa ada masalah. Sekarang ini, tercatat ada 29 industri tepung terigu olahan untuk produk berbagai jenis makanan.
Kesemua dari 29 industri juga sudah menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia) dengan baik. Dari yang awalnya, penerapan SNI voluntary (sukarela) menjadi wajib demi kepentingan nasional. “Buat apa ada ribut-ribut SNI Wajib Tepung Terigu, nggak usah!. Kami sudah 15 tahun menerapkan SNI,” Executive Director Aptindo Rata Sari Loppies mengatakan kepada redaksi (19/12).
Tepung terigu adalah satu dari empat produk yang sempat dipermasalahkan dalam konteks pemberlakuan SNI Wajib. Ditjen SPK (Standardisasi dan Perlindungan Konsumen) Kementerian Perdagangan (Kemendag) membekukan 25 NPB (Nomor Pendaftaran Barang) produk impor yakni tepung terigu, kipas angin, lampu swabalas, pompa air listrik.
Petugas pengawas dari Kemendag menemukan beberapa merek produk tepung terigu yang pemberlakuan SNI nya diragukan. Sehingga Kemendag membekukan dan mencabut NPB perusahaan importir tepung teribu tersebut.
Merespons hal tersebut, Direktur perusahaan manufacturing tepung terigu PT Indofood Franciscus Welirang berharap tidak ada penyama-rataan insiden tersebut terhadap 29 industri nasional tepung terigu. Industri impor gandum dari beberapa negara termasuk Amerika, untuk digiling menjadi tepung terigu.
Lalu industri melakukan fortifikasi dengan kandungan zat besi (Fe), seng (Za), vitamin B2. “Sejak tahun 1999, industri nasional sudah mengacu pada studi WHO (world health organization) untuk fortifikasi. Kami sudah melaksanakan fortifikasi,” Franciscus mengatakan kepada redaksi.
Kondisi tepung terigu yang rusak, tidak terkait dengan ketentuan standardisasi, atau terkait dengan upaya perlindungan konsumen. Franciscus melihat kemungkinan, lama pengiriman yang menyebabkan kerusakan tepung terigu.
Selain itu, proses packing (pengepakan) sebelum pengiriman menentukan kualitas tepung terigu. “Kalau penanganan tidak benar, bisa rusak sampai di sini. Kita buang atau jadi pakan ternak. Tapi kalau terlalu lama, tepung bisa bau apek.”
Hal yang terkait dengan standardisasi, importir tepung terigu harus mendaftarkan ke BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Importir harus memenuhi berbagai persyaratan administratif dan lain sebagainya untuk mendapatkan Nomor Pendaftaran atau MD.
“Kalau sudah dapat MD, bisa impor. Ada persyaratan labelling. Kalau sudah beredar di pasaran, BPOM bisa mengecek sampai sejauh mana pemenuhan persyaratan. Direktorat SPK Kemendag ikut (pengawasan). Kalau tidak benar, (petugas) bisa cabut MD dan NPB nya, karena sudah masuk sanksi pidana.”
Sumber: businessnews


