Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sudah di depan mata. Namun banyak pihak yang meragukan kesiapan industri nasional dalam menghadapi MEA. Karena sampai saat ini, pemerintah dinilai belum memiliki grand design yang tepat untuk pengembangan industri nasional.
Untuk itu, dibutuhkan grand design untuk pengembangan industri nasional sebelum menghadapi MEA 2015. Ini ditujukan agar produk yang dihasilkan industri nasional bisa lebih kompetitif saat bertarung dengan produk negara anggota ASEAN.
Sejumlah permasalahan klasik juga masih membelit industri dalam negeri seperti, infrastruktur yang tidak mendukung sehingga membuat biaya produksi menjadi tinggi, antara lain transportasi bahan baku, transportasi hasil produksi atau logistik, suku bunga tinggi dari perbankan, pemasaran, dan birokrasi yang berbelit. Sejumlah persoalan yang tidak kunjung selesai ini membuat daya saing produk industri dalam negeri rendah yang akhirnya Indonesia hanya menjadi pasar saja.
Salah satu industri yang diragukan kemampuannya untuk bisa bersaing di pasar ASEAN adalah industri kakao. Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia (APIKCI) pesimistis industri kakao mampu berdaya saing saat pasar bebas ASEAN. Ketua APIKCI, Sony Satari, di Jakarta (Senin, 12/1), menilai saat ini industri kakao di Indonesia lebih banyak didominasi kepemilikan asing. Sementara mayoritas industri kakao dalam negeri masih berkapasitas kecil sehingga pesimistis mampu bersaing dengan industri besar karena kepemilikan modal yang terbatas.
Dia melihat industri kakao kecil bakal makin sulit untuk bersaing terutama dalam permodalan. Sedangkan yang besar datang dari luar negeri dengan modal yang lebih besar. Kendati demikian, pihaknya menaruh harapan besar jika langkah rehabilitasi perkebunan kakao berimbas pada kesejahteraan petani. Menurut dia, peningkatan produktivitas kakao saat ini hanya untuk memasok biji ke industri besar, namun tidak berpengaruh apapun terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Sejumlah pengusaha pun menyatakan dukungannya terhadap rencana kewajiban sertifikasi biji kakao nasional, menyusul diberlakukannya MEA 2015. Dikatakan, aspek penting dari sertifikasi yang harus diterapkan bukan hanya secara on-farm atau good agriculture practices (GAP), melainkan juga good manufacturing practices (GMP). Sebab arus barang yang nantinya masuk lebih deras lagi ke dalam negeri bukan hanya bahan baku, melainkan juga olahan dan produk jadi.
Sementara itu, Zulhefi Sikumbang, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), mengatakan sebagai produsen ketiga terbesar di dunia, Indonesia meluncurkan skema USD 95 juta pada awal 2015 untuk membantu produksi biji kakao.
Menurut dia, masalah umum yang dihadap industri kakao nasional adalah pohon kakao yang sudah berusia tua, sebagian besar sudah ditanam pada 1980-an. Dengan demikian, pohon kakao rentan terhadap penyakit yang sulit untuk dibasmi. Data Askindo menyebutkan produksi Indonesia antara 485.000-500,000 ton pada 2015, naik dari 485.000 ton pada tahun 2014 dan 475.000 ton tahun lalu.
Menurut Sikumbang, daripada mendistribusikan bibit baru, skema pemerintahan harus fokus pada pelatihan lebih dari 1 juta petani kakao Indonesia dalam teknik pertanian modern. Sikumbang menuturkan mesin penggiling hanya mampu memproduksi setengah kapasitas, yakni 550.000 ton.
Sementara banyak penggiling independen dan lebih tua tidak mampu bersaing dengan perusahaan multinasional. Mereka memilih menutup usahanya secara permanen dalam beberapa tahun terakhir. Askindo melaporkan kapasitas pengolahan dalam negeri merosot, sementara impor meningkat terus. Ekspor biji kakao Indonesia akan turun menjadi 30.000 ton pada 2015 dari 70.000 ton tahun 2014.
26 January 2015
Business News, Commodity
Kakao Indonesia Diragukan Mampu Bersaing di Pasar ASEAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sudah di depan mata. Namun banyak pihak yang meragukan kesiapan industri nasional dalam menghadapi MEA. Karena sampai saat ini, pemerintah dinilai belum memiliki grand design yang tepat untuk pengembangan industri nasional.


