Menurut survei Credit Suisse, Tingkat Optimisme dan Kepercayaan konsumen di Indonesia
pada 2013 melampaui konsumen China, dan menjadi yang tertinggi kedua, setelah
Brasil. Tingginya tingkat optimisme dan
kepercayaan konsumen di Indonesia ditopang kenaikan pendapatan serta tingkat
inflasi pangan yang rendah.
Vice President Equity Research PT Credit
Suisse Securities Indonesia, Ella Nusantoro, "Tingginya tingkat optimisme dan kepercayaan
konsumen itu tampak dari ekspektasi kenaikan pendapatan per kapita di
Indonesia."
Menurut hasil survei itu, 40% total responden
di Indonesia memperkirakan pendapatannya naik di atas 10% tahun ini, 57%
responden berekspektasi pendapatannya flat hingga naik 10%, dan hanya 3%
responden yang memproyeksikan pendapatannya turun hingga flat.
Sementara di
China, 55% responden memperkirakan pendapatannya turun hingga flat, 17%
responden berekspektasi pendapatannya flat hingga naik 10%, dan 27% responden
memproyeksikan pendapatannya naik di atas 10%.
Kondisi serupa di China juga terjadi di India. Sebanyak
54% responden di India berekspektasi pendapatannya turun hingga flat, 18%
responden memperkirakan pendapatannya flat hingga naik 10%, dan 27% responden
memproyeksikan pendapatannya naik di atas 10%. "Ekspektasi yang terjadi di
China dan India dipengaruhi dampak negatif krisis global," ujarnya.
Credit Suisse mensurvei 14.000 konsumen di delapan negara
emerging economy, yakni Brasil, Indonesia, China, India, Arab Saudi,
Afrika Selatan, Rusia, dan Turki. Di Indonesia, survei dilakukan terhadap 1.500
konsumen.
Meski peningkatan optimisme terjadi secara umum di
Indonesia, peningkatan ini lebih terlihat pada konsumen dengan pendapatan
rendah dan sedang, sedangkan konsumen yang memiliki pendapatan tinggi kurang
positif. Hal itu terjadi karena pengaruh kenaikan upah minimum regional (UMR)
sebesar 10% rata-rata di seluruh provinsi di Indonesia.
Kenaikan upah pekerja digabungkan dengan tingkat inflasi
pangan yang rendah telah mendorong kenaikan substansial dalam kebijakan belanja
konsumen. Belanja makanan masih mendapat porsi terbesar sekitar 28% dari total
belanja konsumen Indonesia, diikuti tabungan 11%, produk kesehatan 7%,
pendidikan 6%, produk rumah tangga dan perawatan pribadi 5%, dan liburan 3%.
Namun, belanja produk sandang (fashion)
diperkirakan tumbuh paling tinggi, sebesar 15% tahun ini, diikuti belanja
liburan 15%. Belanja produk discretionary seperti produk kesehatan,
otomotif, kosmetik, dan teknologi serta smartphone juga akan meningkat.
Karim Salamatian, Head of Non-Japan Asia Consumer Equity
Research Credit Suisse, menambahkan seiring tingginya ekspektasi tingkat
optimisme dan kepercayaan konsumen di Indonesia, akan terjadi perang merek (brand
war) antara merek lokal dan merek asing untuk menguasai pasar. "Itu
akan mendorong merek untuk meningkatkan promosi dan iklan secara konvensional
maupun digital," ujarnya.
Berdasarkan survei tersebut, responden di Indonesia lebih
memilih merek asing untuk produk discretionary, sementara merek lokal
disukai untuk produk essentials seperti fashion, produk kulit dan
sepatu, serta parfum.
Tingginya tingkat konsumsi di Indonesia juga ditopang
besarnya jumlah konsumen kelas menengah. Menurut laporan The McKinsey Global
Institute yang berjudul "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential",
Indonesia saat ini merupakan ekonomi terbesar ke-16 di dunia yang ditopang 45
juta jiwa konsumen kelas menengah.
Di 2020, konsumen kelas menengah diperkirakan mencapai 85
juta jiwa dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 5%-6% per tahun. Besarnya
jumlah konsumen kelas menengah juga mendorong tingginya tingkat penjualan
barang konsumsi harian.
Lembaga riset Nielsen Indonesia menyebutkan penjualan 43
barang konsumsi sehari-hari atau fast moving consumer goods (FMCG) di
Indonesia tumbuh double digit. Pada 2011, Nielsen Indonesia
memperkirakan penjualan 43 barang konsumsi sehari-hari mencapai Rp 136 triliun,
tumbuh 13% dari 2010. (dbs)

